ESTO
berawal dari sebuah perusahaan perseorangan milik Kwa Tjwan Ing. Kwa
Tjwan Ing adalah seorang pionir perusahaan transportasi di salatiga.
Pada tahun 1920an beliau satu satunya orang yang memiliki armada mobil
angkutan di salatiga. Sekitar tahun 1920an, Kwa Tjwan Ing mulai
mengoperasikan mobil angkutanya itu di sekitar residen salatiga. Armada
Kwa Tjwan Ing dulu layaknya taksi saat
ini. Armadanya selalu terparkir di depan rumah Kwa Tjwan Ing (sekarang
hotel dekat garasi ESTO). Waktu itu hanya kelas priyayi lah yang dapat
menggunakan jasanya .
Saat itu Kwa Tjwan Ing juga memiliki beberapa armada truck angkutan juga. Saat itu salatiga menjadi pemasok bahan pokok ke residen semarang. Hasil bumi seperti sayuran harus diantarkan dengan cepat ke semarang. Mungkin peluang itulah yang mendorong Kwa Tjwan Ing untuk menurunkan armada trucknya. Menurut kabar dulu ada 2 armada truck milik Kwa Tjwan Ing yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi, arang, dan sayuran ke semarang. Dan inilah cikal bakal bisnis ekspedisi menggunakan kendaraan truck di jawa tengah. Dan hebatnya Kwa Tjwan Ing adalah perusahaan yang memperhatikan keselamatan. Konon kabarnya truck milik Kwa Tjwan Ing tidak pernah membawa muatan lebih dari beban maksimal yang dapat ditanggung oleh kendaraan. Mungkin ini karena peraturan oleh pihak belanda yang sangat ketat. Dan kedisiplinan sopir juga sangat dituntut. Truck harus masuk garasi dengan jam yang telah ditentukan.
Selanjutnya tahun 1923an. Sang pendiri, Kwa Tjwan Ing, mengembangkan usaha setelah membeli beberapa bus kecil. Bus hanya melayani rute Salatiga-Tuntang dan Salatiga-Bringin. saat itu telephone baru saja masuk ke salatiga. ketika itu di armada Kwa Tjwa Ing (belum berubah menjadi ESTO) tertera jelas no telepone 42. rute salatiga tuntang dipilih karena adanya stasiun kereta di tuntang. Mungkin kalo bisa disebut seperti jaman sekarang. kala itu sudah bisa disebut shutle. membawa penumpang ke transportasi masal berikutnya. ketika itu penumpang sudah ramai. walau didominasi oleh para pedagang berada dan bangsa belanda. pioner ini sudah mulai menampakan bentuknya sebagai moda transportasi masal modern yang diperhitungkan. sedikit cerita yang pernah saya dengar. dahulu warga salatiga yang ingin bepergian ke semarang menggunakan jasa 2 buah metoda transportasi. naik bus esto ke setasiun tuntang kemudian diteruskan naik kereta api dari tuntang ke semarang via dungjati. adapun transportasi tandingan waktu itu. yaitu dokar . waktu itu armada bus pertama esto berkapasitas 16-18 orang. dengan armada mungkin produksi eropa. Tempat duduknya dibagi dua. tempat duduk bagian depan diberi jok yang empuk dan menghadap ke depan untuk orang-orang Belanda. Sementara tempat duduk bagian belakang hanya dari rotan dan menghadap ke belakang untuk kaum pribumi. Karena fasilitas lain, maka ongkosnya pun berbeda. masih terlihat jelas perbedaan dan diskriminasi di sini. Di awal usahanya, mobil Kwa Tjwan Ing menggunakan ban mati dengan daya yang terbatas, maka tidaklah mengherankan bila melewati tanjakan tertentu yang terjal mobil tersebut harus berjalan mundur, bila tidak maka tidak akan kuat naik. Pada 1930, ESTO berganti pemilik, dari Kwa Tjwan Ing kepada anaknya Kwa Hong Po (Winata Budi Dharma). Pada masa ini, ESTO semakin berkembang dan melayani rute Sragen, Purworejo, Kutoarjo, Kendal, Kudus, dan Pati.
Tahun 1930an dunia dilanda krisis ekonomi besar. banyak bidang usaha yang terancam gulung tikar. tak terkecuai ESTO. perusahaan ini mulai kesulitan keuangan. saat itu perusahaan dipimpin dan dijalankan oleh Kwa Hong Po. Kebangkjrutan tersebut membuat sebagian armada ESTO diambil alih BPM Shell karena ESTO memiliki banyak hutang bensin. Sebagian lagi armadanya jatuh ke perusahaan bus NV ADAM, Semarang. Karena armadanya tinggal beberapa saja maka konsekuanesinya ESTO kembali hanya melayani Bringin, Suruh, Ambarawa, dan Tuntang saja. Pada 1938, ESTO berganti pemilik lagi dari Winata Budi Dharma ke saudaranya, Kwa Hong Biauw. beliau memiliki istana megah di Salatiga yang sekarang menjadi gedung institute roncali. Dibawah kendali Kwa Hong Biauw ESTO sedikit demi sedikit merangkak membenahi diri. badai hutang yang muali mereda membuat kondisi keuangan ESTO menjadi sedikit membaik hingga sebelum tahun 1940an. Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, sebagian armada ESTO diambil alih Belanda untuk menghadapi serbuan Jepang. Sebagai kompensasinya, pemilik ESTO mendapat "surat sakti" dari pemerintah Belanda. dijanjikan oleh pihak belanda nantinya dengan surat itu, pemilik ESTO dapat membeli bus baru lagi dengan harga yang murah. kondisi sulit tak berhenti samapi di sini.
Pada jaman Jepang, armada ESTO kembali menjadi rampasan, bahkan truk dan kendaraan jenazah yang dimiliki ESTO pun tidak luput dari incaran Jepang. Pada 1948 dengan menggunakan surat sakti dari pemerintah Belanda, pemilik ESTO membeli bus-bus baru lagi dengan harga yang sangat murah. saat itu ESTO mendapatkan banyak armada Chevrolet dengan harga murah dan akhirnya hampir seluruh armadanya menggunakan Chevrolet. mungkin karena produsen asal eropa sedang carut marut akibat perang dunia ke 2. sehingga armada dari amerikalah yang bisa diandalkan. Trayeknya saat itu hanya Salatiga Tuntang Ambarawa
Saat itu Kwa Tjwan Ing juga memiliki beberapa armada truck angkutan juga. Saat itu salatiga menjadi pemasok bahan pokok ke residen semarang. Hasil bumi seperti sayuran harus diantarkan dengan cepat ke semarang. Mungkin peluang itulah yang mendorong Kwa Tjwan Ing untuk menurunkan armada trucknya. Menurut kabar dulu ada 2 armada truck milik Kwa Tjwan Ing yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi, arang, dan sayuran ke semarang. Dan inilah cikal bakal bisnis ekspedisi menggunakan kendaraan truck di jawa tengah. Dan hebatnya Kwa Tjwan Ing adalah perusahaan yang memperhatikan keselamatan. Konon kabarnya truck milik Kwa Tjwan Ing tidak pernah membawa muatan lebih dari beban maksimal yang dapat ditanggung oleh kendaraan. Mungkin ini karena peraturan oleh pihak belanda yang sangat ketat. Dan kedisiplinan sopir juga sangat dituntut. Truck harus masuk garasi dengan jam yang telah ditentukan.
Selanjutnya tahun 1923an. Sang pendiri, Kwa Tjwan Ing, mengembangkan usaha setelah membeli beberapa bus kecil. Bus hanya melayani rute Salatiga-Tuntang dan Salatiga-Bringin. saat itu telephone baru saja masuk ke salatiga. ketika itu di armada Kwa Tjwa Ing (belum berubah menjadi ESTO) tertera jelas no telepone 42. rute salatiga tuntang dipilih karena adanya stasiun kereta di tuntang. Mungkin kalo bisa disebut seperti jaman sekarang. kala itu sudah bisa disebut shutle. membawa penumpang ke transportasi masal berikutnya. ketika itu penumpang sudah ramai. walau didominasi oleh para pedagang berada dan bangsa belanda. pioner ini sudah mulai menampakan bentuknya sebagai moda transportasi masal modern yang diperhitungkan. sedikit cerita yang pernah saya dengar. dahulu warga salatiga yang ingin bepergian ke semarang menggunakan jasa 2 buah metoda transportasi. naik bus esto ke setasiun tuntang kemudian diteruskan naik kereta api dari tuntang ke semarang via dungjati. adapun transportasi tandingan waktu itu. yaitu dokar . waktu itu armada bus pertama esto berkapasitas 16-18 orang. dengan armada mungkin produksi eropa. Tempat duduknya dibagi dua. tempat duduk bagian depan diberi jok yang empuk dan menghadap ke depan untuk orang-orang Belanda. Sementara tempat duduk bagian belakang hanya dari rotan dan menghadap ke belakang untuk kaum pribumi. Karena fasilitas lain, maka ongkosnya pun berbeda. masih terlihat jelas perbedaan dan diskriminasi di sini. Di awal usahanya, mobil Kwa Tjwan Ing menggunakan ban mati dengan daya yang terbatas, maka tidaklah mengherankan bila melewati tanjakan tertentu yang terjal mobil tersebut harus berjalan mundur, bila tidak maka tidak akan kuat naik. Pada 1930, ESTO berganti pemilik, dari Kwa Tjwan Ing kepada anaknya Kwa Hong Po (Winata Budi Dharma). Pada masa ini, ESTO semakin berkembang dan melayani rute Sragen, Purworejo, Kutoarjo, Kendal, Kudus, dan Pati.
Tahun 1930an dunia dilanda krisis ekonomi besar. banyak bidang usaha yang terancam gulung tikar. tak terkecuai ESTO. perusahaan ini mulai kesulitan keuangan. saat itu perusahaan dipimpin dan dijalankan oleh Kwa Hong Po. Kebangkjrutan tersebut membuat sebagian armada ESTO diambil alih BPM Shell karena ESTO memiliki banyak hutang bensin. Sebagian lagi armadanya jatuh ke perusahaan bus NV ADAM, Semarang. Karena armadanya tinggal beberapa saja maka konsekuanesinya ESTO kembali hanya melayani Bringin, Suruh, Ambarawa, dan Tuntang saja. Pada 1938, ESTO berganti pemilik lagi dari Winata Budi Dharma ke saudaranya, Kwa Hong Biauw. beliau memiliki istana megah di Salatiga yang sekarang menjadi gedung institute roncali. Dibawah kendali Kwa Hong Biauw ESTO sedikit demi sedikit merangkak membenahi diri. badai hutang yang muali mereda membuat kondisi keuangan ESTO menjadi sedikit membaik hingga sebelum tahun 1940an. Menjelang Jepang masuk ke Indonesia, sebagian armada ESTO diambil alih Belanda untuk menghadapi serbuan Jepang. Sebagai kompensasinya, pemilik ESTO mendapat "surat sakti" dari pemerintah Belanda. dijanjikan oleh pihak belanda nantinya dengan surat itu, pemilik ESTO dapat membeli bus baru lagi dengan harga yang murah. kondisi sulit tak berhenti samapi di sini.
Pada jaman Jepang, armada ESTO kembali menjadi rampasan, bahkan truk dan kendaraan jenazah yang dimiliki ESTO pun tidak luput dari incaran Jepang. Pada 1948 dengan menggunakan surat sakti dari pemerintah Belanda, pemilik ESTO membeli bus-bus baru lagi dengan harga yang sangat murah. saat itu ESTO mendapatkan banyak armada Chevrolet dengan harga murah dan akhirnya hampir seluruh armadanya menggunakan Chevrolet. mungkin karena produsen asal eropa sedang carut marut akibat perang dunia ke 2. sehingga armada dari amerikalah yang bisa diandalkan. Trayeknya saat itu hanya Salatiga Tuntang Ambarawa
Sumber & Foto: www(dot)salatiga(dot)nl